OtoHub.co - Nissan, raksasa otomotif Jepang yang telah berdiri sejak 1933, kini menghadapi tantangan serius dan terbesar dalam sejarahnya.
Dengan profit yang anjlok 93,5% dalam satu tahun, banyak analis menilai bahwa tanpa perubahan radikal, Nissan akan semakin dekat ke jurang kebangkrutan.
Namun, ketika kesempatan untuk selamat datang melalui opsi merger dengan Honda, Nissan justru memilih untuk menolaknya.
Apakah ini bentuk perlawanan terakhir atau justru keputusan fatal? Hmm, menarik kita bahas lebih lanjut.
KEHILANGAN ARAH
Nissan pernah berjaya sebagai salah satu pemain utama dalam industri otomotif global. Bahkan di awal tahun 2000-an, perusahaan ini berhasil bangkit dari krisis berkat kepemimpinan Carlos Ghosn, yang dikenal sebagai sosok visioner.
Di bawah komandonya, Nissan kembali menjadi pesaing kuat di pasar otomotif dunia.
Namun, keberhasilan Ghosn justru menimbulkan gesekan internal. Ia akhirnya tersingkir dengan berbagai tuduhan hukum, dan sejak saat itu, Nissan kehilangan arah.
Manajemen lebih sibuk dengan manuver politik internal daripada membangun strategi bisnis yang berkelanjutan.
Akibatnya, Nissan terus mengalami kemunduran dalam inovasi, strategi pemasaran, dan pengembangan teknologi.
Padahal Nissan lebih duluan memasarkan mobil listrik, yakni melalui Nissan Leaf yang kemudian diikuti dengan Nissan Kick.
Namun tampaknya kini harus pupus, lantaran gejolak di pihak internal.
Baca Juga:
Prang, Master Silinder Rem Nancep ke Kaca Depan Nissan Livina di Tol Cipularang, Kok Bisa?
Sangat disayangkan, ketika pesaingnya seperti Toyota dan Honda agresif berinvestasi dalam kendaraan listrik (EV) dan teknologi otonom, Nissan kini tampak ragu-ragu dalam menentukan arah.
Hasilnya, laporan keuangan 2024 menunjukkan bahwa profit perusahaan terjun bebas, mengindikasikan bahwa Nissan hanya bertahan dengan sisa kejayaannya.
PELUANG MERGER DITOLAK
Honda, yang saat ini memiliki posisi finansial empat kali lebih kuat dari Nissan, menawarkan jalan keluar, yaitu merger.
Dalam skenario ini, Nissan akan menjadi mitra junior, keputusan yang secara logis masuk akal mengingat kondisi Nissan yang semakin kritis.
Namun, Nissan menolak tawaran tersebut. Alasannya? Pride!
Keputusan ini menuai banyak kritik, karena menunjukkan bahwa Nissan lebih memilih "mati berdiri" daripada "hidup berlutut."
Secara bisnis, merger dengan Honda bisa membuka banyak peluang. Diantaranya akses ke sumber daya, efisiensi produksi, serta percepatan pengembangan teknologi kendaraan listrik dan otonom.
Namun, Nissan tetap bersikeras bahwa posisinya sejajar dengan Honda. Mereka menuntut skema merger 50:50.
Sebuah tuntutan yang nyaris mustahil mengingat besarnya kesenjangan finansial dan operasional antara kedua perusahaan.
Honda sendiri tidak benar-benar membutuhkan Nissan. Langkah merger ini lebih berorientasi pada menjaga reputasi industri otomotif Jepang agar tetap kompetitif di pasar global.
Tetapi dengan permintaan Nissan yang tidak masuk akal, negosiasi pun gagal.
HARGA DIRI VS KENYATAAN BISNIS
Pilihan Nissan untuk bertahan sendiri menempatkannya dalam situasi yang sangat berisiko.
Apakah mereka memiliki strategi besar yang belum terlihat, atau ini hanyalah aksi bunuh diri korporat?
Dalam dunia bisnis, keputusan berbasis emosi jarang membawa hasil yang baik. Nissan saat ini tidak hanya harus menghadapi tekanan finansial, tetapi juga harus mengejar ketertinggalannya dalam inovasi.
Jika mereka tidak segera mengambil langkah besar, baik melalui restrukturisasi, inovasi produk, atau aliansi strategis lainnya.
Maka masa depan Nissan mungkin akan menjadi studi kasus bagaimana sebuah legenda industri perlahan runtuh karena kesalahan strategi.
Duh...